1.
Dimensi
keindividualan
Individu diartikan sebagai “orang-seseorang”, sesuatu yang
merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya
individu diartikan sebagai pribadi[1].
Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi
berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri
individu yang identik di muka bumi. Demikian kata M.J. Langeveld[2],
yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas[3].
Bahkan dua anak kembar yang lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua, tidak
serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama,
apalagi identik. Hal ini berlaku baik pada sifat-sifat fisiknya maupun
kejiwaannya (kerohaniannya). Dikatakan bahwa setiap individu bersifat unik
(tidak ada tara dan bandingannya). Secara fisik mungkin bentuk muka sama tetapi terdapat
perbedaan mengenai matannya. Secara kerohanian mungkin kapasitas intelegensinya
sama, tetapi kecendrungan dan perhatiannya terhadap sesuatu berbeda. Karena
adannya individualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita,
kecendrungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda. Dalam hidup sehari-hari
dua orang murid sekelas yang mempunyai nama sama tidak pernah bersedia untuk
disamakan satu sama lain. Pendek kata, masing-masing ingin mempertahankan
kekhasannya sendiri. Gambaran tersebut telah dikemukakan oleh Francis Galton
seorang ahli biologi dan matematika inggris, dari hasil penelitiannya
terhadap banyak pasangan kembar. Ternyata
tidak sepasang pun yang identik.
2.
Dimensi
Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi
sosialitas. Demikian kata M.J. Langeveld. Pernyataan tersebut
diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul.
Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya di
dalamnya terkandung unsure saling member dan menerima. Bahkan menurut Langeveld,
adanya kesediaan untuk saling memberi dan menerima itu dipandang sebagai kunci
sukses pergaulan. Adanya dorongan untuk menerima dan memberi itu sudah
menggejala mulai pada masa bayi. Seorang bayi sudah dapat menyambut atau
menerima belaian ibunya dengan rasa senang. Kemudian sebagai balasan ia dapat
memberikan senyuman kepada lingkungannya, khususnya pada ibunya. Kelak jika
sudah dewasa dan menduduki status atau pekerjaan tertentu, dorongan menerima
dan memberi itu berubah menjadi kesadaran akan hak yang harus diterima dan
kewajiban yang harus dilaksanakan untuk kepentingan pihak lain sebagai
realisasi dari memberi.
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada
dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang
ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga bila
dipenjarakan merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh manusia, karena
dengan diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul
tersebut secara mutlak. Masih banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan betapa
dorongan sosialitas tersebut demikian kuat. Tanpa orang menyadari sebenarnya
ada alasan yang cukup kuat. Bukankah tidak ada orang yang dapat hidup tanpa
bantaun orang lain?. Kenyataan ini tidak hanya berlaku pada bayi yang belum
berdaya. Bantuan dari orang lain itu tetap diperlukan pada masa anak, remaja,
setelah dewasa bahkan sampai tua.
3.
Dimensi
Kesusilaan
Susila menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti baik budi,
beradap, dan sopan santun. Sedangkan menurut bahasa susila berasal dari kata su
dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi, didalam
kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di
dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung.
Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti
menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam
istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kesopanan)
dan etika (persoalan kebaikan).
Di dalam uraian ini kesusilaan diartikan mencakup etika dan etiket.
Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada
hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta
melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila.
Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki
nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan[4].
Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena
mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan, dan sebagainya, sehingga dapat
diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup.
4.
Dimensi
keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religious. Sajak dahulu
kala, sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam
yang dapat di jangkau dengan perantaraan alat inderanya, diyakini akan adanya
kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi
dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos.
Misalnya untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan
bermacam-macam upacara, menyediakan sesajen-sesajen, dan memberikan
korban-korban. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu.
Kemudian setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama
merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga
memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya.
Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat
menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Ph. Kohnstamm berpendapat
bahwa pendidikan agama seyogianya menjadi tugas orang tua dalam lingkungan
keluarga. Pesan-pesan agama harus tersalur dari hati ke hati. Terpancar dari
ketulusan serta kesungguhan hati orang tua dan menembus ke anak. Dalam hal ini
orang tualah yang paling cocok sebagai pendidik karena ada hubungan darah
dengan anak. Disini pendidikan agama yanag diberikan secara masal kurang sesuai[5].
Pendapat Kohnstamm ini mengandung kebenaran dilihat dari segi kualitas hubungan
antara pendidik dengan peserta didik. Disamping itu, juga penanaman sikap dan
kebiasaan dalam beragama dimulai sedini mungkin, meskipun masih terbatas pada
latihan kebiasaan (habit formation). Tetapi untuk pengembangan pengkajian lebih
lanjut tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada orang tua. Untuk itu
pengkajian agama secara massal dapat dimanfaatkan misalnya pendidikan agama di
sekolah.
Disamping itu mengembangkan kerukunan hidup di antara sesame umat
beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapat
perhatian[6].
Kiranya tidak cukup jika pendidikan agama hanya ditempuh melalui pendidikan
formal. Kegiatan di dalam pendidikan nonformal dan informal dapat dimanfaatkan
untuk keperluan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar