Selamat Datang di Blog Saya

Kamis, 23 Maret 2017

Hakikat-Hakikat Manusia


Dimensi-Dimensi Hakikat Manusia

1.      Dimensi keindividualan

Individu diartikan sebagai “orang-seseorang”, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi[1]. Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. Demikian kata M.J. Langeveld[2], yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas[3]. Bahkan dua anak kembar yang lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua, tidak serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama, apalagi identik. Hal ini berlaku baik pada sifat-sifat fisiknya maupun kejiwaannya (kerohaniannya). Dikatakan bahwa setiap individu bersifat unik (tidak ada tara dan bandingannya). Secara fisik mungkin bentuk muka sama tetapi terdapat perbedaan mengenai matannya. Secara kerohanian mungkin kapasitas intelegensinya sama, tetapi kecendrungan dan perhatiannya terhadap sesuatu berbeda. Karena adannya individualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecendrungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda. Dalam hidup sehari-hari dua orang murid sekelas yang mempunyai nama sama tidak pernah bersedia untuk disamakan satu sama lain. Pendek kata, masing-masing ingin mempertahankan kekhasannya sendiri. Gambaran tersebut telah dikemukakan oleh Francis Galton seorang ahli biologi dan matematika inggris, dari hasil penelitiannya terhadap banyak pasangan kembar. Ternyata tidak sepasang pun yang identik.

2.      Dimensi Kesosialan

Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas. Demikian  kata M.J. Langeveld. Pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul. Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya di dalamnya terkandung unsure saling member dan menerima. Bahkan menurut Langeveld, adanya kesediaan untuk saling memberi dan menerima itu dipandang sebagai kunci sukses pergaulan. Adanya dorongan untuk menerima dan memberi itu sudah menggejala mulai pada masa bayi. Seorang bayi sudah dapat menyambut atau menerima belaian ibunya dengan rasa senang. Kemudian sebagai balasan ia dapat memberikan senyuman kepada lingkungannya, khususnya pada ibunya. Kelak jika sudah dewasa dan menduduki status atau pekerjaan tertentu, dorongan menerima dan memberi itu berubah menjadi kesadaran akan hak yang harus diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk kepentingan pihak lain sebagai realisasi dari memberi.

Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga bila dipenjarakan merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh manusia, karena dengan diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul tersebut secara mutlak. Masih banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan betapa dorongan sosialitas tersebut demikian kuat. Tanpa orang menyadari sebenarnya ada alasan yang cukup kuat. Bukankah tidak ada orang yang dapat hidup tanpa bantaun orang lain?. Kenyataan ini tidak hanya berlaku pada bayi yang belum berdaya. Bantuan dari orang lain itu tetap diperlukan pada masa anak, remaja, setelah dewasa bahkan sampai tua.

3.      Dimensi Kesusilaan

Susila menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti baik budi, beradap, dan sopan santun. Sedangkan menurut bahasa susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi, didalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan).

Di dalam uraian ini kesusilaan diartikan mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila. Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan[4]. Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan, dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup.

4.      Dimensi keberagamaan

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religious. Sajak dahulu kala, sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat di jangkau dengan perantaraan alat inderanya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos. Misalnya untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan bermacam-macam upacara, menyediakan sesajen-sesajen, dan memberikan korban-korban. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu.

Kemudian setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Ph. Kohnstamm berpendapat bahwa pendidikan agama seyogianya menjadi tugas orang tua dalam lingkungan keluarga. Pesan-pesan agama harus tersalur dari hati ke hati. Terpancar dari ketulusan serta kesungguhan hati orang tua dan menembus ke anak. Dalam hal ini orang tualah yang paling cocok sebagai pendidik karena ada hubungan darah dengan anak. Disini pendidikan agama yanag diberikan secara masal kurang sesuai[5]. Pendapat Kohnstamm ini mengandung kebenaran dilihat dari segi kualitas hubungan antara pendidik dengan peserta didik. Disamping itu, juga penanaman sikap dan kebiasaan dalam beragama dimulai sedini mungkin, meskipun masih terbatas pada latihan kebiasaan (habit formation). Tetapi untuk pengembangan pengkajian lebih lanjut tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada orang tua. Untuk itu pengkajian agama secara massal dapat dimanfaatkan misalnya pendidikan agama di sekolah.

Disamping itu mengembangkan kerukunan hidup di antara sesame umat beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapat perhatian[6]. Kiranya tidak cukup jika pendidikan agama hanya ditempuh melalui pendidikan formal. Kegiatan di dalam pendidikan nonformal dan informal dapat dimanfaatkan untuk keperluan tersebut.





[1] Lysen, Individu dan Masyarakat : 4.
[2] Seorang pakar pendidikan yang tersohor di Negeri Belanda.
[3] M.J. Langeveld, 1955 : 54.
[4] Drijarkara, 1978 : 36-39.
[5] M. Thayeb, 1972 : 14-15
[6] GBHN, Hal. 134 butir a. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ilmuwan Muslim Klasik

Ilmuwan Muslim Klasik Oleh: kelompok 8 (Muhammad Qudrat S. Ahmad Murdani. Nur Habibah. Sumondang Marito H. Jainuddin Dai) A.     Im...