Selamat Datang di Blog Saya

Rabu, 31 Mei 2017

Kepemimpinan Pendidikan Islam

1.      Konsep Kepemimpinan Islam
Kepemimpinan merupakan tanggung jawab, bukan merupakan fasilitas tetapi kepemimpinan memerlukan pengorbanan dan melayani orang yang dipimpin. Di dalam Islam, arti pentingnya kepemimpinan antara lain ditegaskan dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan tirmidzi dari Ibnu Umar, adapun hadisnya adalah sebagai berikut:
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a. berkata, Rasulullah saw. Bersabda, kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinanmu. Seorang Imam adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang ayah adalah pemimpin dan ia dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang Ibu adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang pembantu adalah pemimpin dan ia dimintai pertanggung jawabannya dalam mengurus harta dan kekayaan taunnya. Seorang anak adalah pemimpin dan ia dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya dalam menjaga harta benda ayahnya. Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. (H.R. Ahmadi).
Dari hadis diatas dapat disimpulkan bahwa selama manusia masih merupakan makhluk sosial, mereka selalu ingin hidup bersama dalam masyarakat, maka setiap orang akan dituntut untuk mengambil perannya sebagai seorang pemimpin di masyarakatnya masing-masing baik dalam masyarakat yang primitif maupun modern. Masing-masing individu harus mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukannya, baik sebagai pemimpin resmi yang diangkat oleh kelompoknya maupun pemimpin alami, seperti dalam keluarga.
Menurut Hafidhuddin dan Hendri (2003: 199-194) ada beberapa istilah yang merujuk pada pengertian pemimpin, yaitu: pertama, umara yang sering juga disebut dengan ulul amri. Kedua, pemimpin yang disebut khadimul ummah (pelayan umat). Selain kata yang telah disebutkan sebelumnya ada istilah lain yang sering digunakan, seperti: amir, khalifah, sultan, dan bahkan imam.
Setelah menelusuri Al-Qur’an dan Hadis dapat diperhatikan bahwa ada empat sifat yang harus dipeuhi oleh seseorang pemimpin dirujuk kepada kepemimpinanpara nabi yang pada hakikatnya adalah pemimpin umatnya. Adapun empat sifat tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Ash-Shidq
Ash-Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap, dalam kepemimpinan berjuang melaksanakan tugasnya sebagai seorang pemimpin. Ash-Shidq adalah kata yang digunakan untuk mengungkapkan keberadaan sesuatu sesuai dengan kenyataan dalam kejadian dan kenyataan, dan kata ini juga digunakan untuk mengungkapkan sesuatu kejadian secara sempurna (Fathi, 2007:173). Dalam kepemimpinan ini sifat jujur merupakan modal utama untuk menciptakan kepemimpinan yang sukses. Karena dengan sifat jujur itu pemimpin akan dicintai oleh bawahannya. Dengan dicintai bawahannya maka pemimpin itu termasuk pemimpin yang sukses, karena ada empat criteria sukses yang digambarkan oleh Hafidhuddin dan Hendri (2003:125) yaitu: 1) pemimpin yang dicintai bawahannya; 2) pemimpin yang mampu menampung aspirasi bawahannya; 3) pemimpin yang suka bermusyawarah; 4) pemimpin yang tegas.

b.      Amanah
Amanah, berarti memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalm keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang baik) dalam segala hal (Hafidhuddin dan Hendri, 2003:75). Pemimpin seharusnya memelihara sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepadanya, baik amanah dari Allah swt. Maupun dari orang-orang yang dipimpinnya, sehingga tercipta rasa aman bagi semua kalangan. Berkaitanh dengan amanah bagi pemimpin dapat dilihat pada surat An-Nisa’: 59, yaitu sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Pada ayat diatas dikatakan bahwa ulil amri atau pejabat adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin. Dalam suatu perusahaan, jika ada direktur yang tidak mengurus kepentingan perusahaannya, maka itu bukan seorang direktur (Hafidhuddin dan Hendri, 2003:119-120). Pemimpin harus bertanggung jawab dalam melaksanakan amanah yang telah dibebankan kepadanya apabila pemimpin telah amanah dan bertanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan tanggung jawabnya, maka kepemimpinannya akan sukses karena dengan sifat amanah yang ditampilkan dari kejujuran, keterbukaan, dan pelayan yang optimal akan didukung sepenuhnya oleh bawahannya.  
c.       Fathanah
Fathanah, yaitu kecerdasan dalam kepemimpinan sifat cerdas dari seorang pemimpin akan melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan atau konflik yang muncul dalam kepemimpinannya. Konflik adalah sesuatu yang wajar dalam peruses kepemimpinan untuk itu diperlukan kepandaian dalam menghadapinya dan ketepatan dalam mengambil keputusan. Pada zaman Rasulullah saw. Melakukan ishlah (Hafidhuddin dan Hendri, 2003:193-194). Ishlah adalah salah satu cara menghadapi konflik supaya tidak berkepanjangan, dengan ishlah diharapkan konflik yang terjadi akan dapat diselesaikan.
                                                
d.      Tabligh
Tabligh, yaitu penyampaian yang jujur dan bertanggung jawab, atau dapat diistilahkan dalam kepemimpinan sebagai keterbukaan. Pola sifat tabligh ini dapat diterapkan sebagai cara komunnikasi dan dialog yang baik dalam tempat sesuai dengan kebutuhan dalam peruses kepemimpinan yang dilakukan model dialog Nabi Muhammad yang mengembangkan persahabatan, kedamaian antar umat manusia harus dipraktekkan dalam era globalisasi (Ludjito dkk., 2010:95).
Tabligh, berarti mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Tabligh, yang disampaikan dengan hikmah, sabar, argumentatif, dan persuasif akan menumbuhkan kemanusiaan yang semakin solid dan kuat (Hafidhuddin dan Hendri, 2003: 75). Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus memiliki sifat persuasif dan sabar sehingga dapat menciptakan situasi kepemimpinan yang aman dan damai. Pemimpin yang baik dan professional harus pandai memilih komunikasi yang tepat bagi bawahannya dimana dia dituntuk untuk sabar dalam bersikap dan berdialog atau komunikasi dengan hikmah.
2.      Unsur Kepemimpinan dalam Islam
Pemimpin adalah orang yang memiliki peran yang sangat pentting dalam sebuah organisasi. Kesuksesan tujuan organisasi sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan seorang pemimpin. Menurut Fathi(2009:144) ada beberapa unsure yang harus dimiliki seorang pemimpin, antara lain yaitu: a.Asy-Syura, b.Al-Muru’ah, c.Al-Jud wa Al-Karam, d.Al-Jur’ahg fi Al-Haq, e.Ash-Shidq, f.Al-Intima’, g.At-Tafaul, h.Al-Marah Al-Mazah, i.At-Ta’aruf ala Thabi’ah Al-Mujatama’, j.I’dad Ash-Shaf Ats Tsani min Al-Qiyadah.
Unsur-unsur yang sangat urgen bagi pemimpin dalam kepemimpinan yang mesti dikuasai oleh seoarang pemimpin antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Musyawarah
Islam telah menganjurkan muusyawarah dan memerintahkannya dalam banyak ayat dalam Al-Qur’an. Musyawarah merupakan suatu hal terpuji dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan Negara untuk mendapatkan hasil keputusan yang terbaik. Adapun ayat Al-Qur’an yang membicarakan musyawarah ini antara lain adalah surat Asy-Syura: 36-38 sebagai berikut:
فَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ * وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Artinya: “Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka member maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka”.
Pada ayat diatas dapat dilihat bagaimana urgensi musyawarah dalam kehidupan. Sayyid Quttub mengatakan, “ayat-ayat ini menggambarkan beberapa kekhususan umat ini yang merupakan ciri khas mereka. Ayat tersebut diturunkan di Mekkah sebelum berdirinya Negara Islam Madinah. salah satu sifat dari umat Islam adalah seperti tertulis pada ayat “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka”. Maka tidak mungkin diperintahkan melaksanakan musyawarah secara mendalam dalam kehidupan kaum Muslimin, apabila hanya sekedar untuk dijadikan undang-undang poilitik sebuah Negara (Fathi, 2009:145). Oleh sebab itu dalam peruses kepemimpinan dibutuhkan proses musyawarah sehingga keputusan yang diambil bukan keputusan sepihak kemudian dalam menjalankan hasil keputusan akan lebih mudah karena keputusan yang diambil adalah hasil keputusan bersama yang bersumber dari musyawarah.

b.      Keberanian dalam Kebenaran
Sifat berani dalam kebenaran merupakan kekuatan jiwa yang mengagumkan yang dimiliki seorang pemimpin sebagai buah dari keimanan hanya kepada Allah yang maha Esa, pendidikan dari lingkungan sekitarnya, kebenaran dari keyakinannya dan kemampuan yang dimilikinya (Fathi, 2009:166). Allah memuji orang-orang yang menyampaikan risalah Allah dan hanya takut kepadanya dan tidak takut kepada siapapun sebagiamana Allah sebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 39 sebagai berikut:
الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan”.
Pada ayat diatas Allah sebutkan bahwa orang yang takut kepada Allah tidak takut kepada siapapun karena Allah yang akan sebagai pembuat perhitungan. Berani menegakkan kebenaran termasuk akhlak yang terpuji bagi seorang pemimpin. Sifat ini digunakan pada saat member nasehat, petunjuk atau ketika untuk membenarkan kesalahan. Walaupun demikian, seorang pemimpin harus menunjukkan sikap tegas dan jujur memberikan keterangan tentang kesalahan anggotanya demi menanamkan kedisiplinan (Fathi, 2009:172). Oleh sebab itu seorang pemimpin yang bijaksana harus berani menegakkan kebenaran demi terciptannya kepemimpinan yang adail sehingga mendatangkan kesejahteraan bagi umat.

c.       Optimisme
Optimism adalah kekuatan jiwa yang positif dan efektif. Orang yeng bersifat optimisme akan melihat hari esok dengan senyum penuh harapan. Ia akan melangkah untuk meraih tujuan yang diidamkannya dengan berjiwa pemimpin yang pemberani, dengan psikologi seorang lelaki yang perkasa serta jauh dari rasa putus asa dan putus harapan (Fathi, 2009:187).
Sifat optimisme yang dimiliki oleh pemimpin akan menghindarkan dirinya dari sifat mudah berputus asa, dimana putus asa adalah sifat yang sangat merugikan dalam kepemimpinan. Allah swt. Berfirman dalam surat Ar-Rum: 36 tentang sifat orang yang berputus asa, yaitu sebagai berikut:
وَإِذَا أَذَقْنَا النَّاسَ رَحْمَةً فَرِحُوا بِهَا ۖ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ إِذَا هُمْ يَقْنَطُونَ
Artinya: “apabila Kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. Dan apabila mereka ditimpa suatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa”.
Berdasarkan ayat diatas disebutkan bahwa putus asa menimpa orang yang lemah dalam  pendirian dan tidak memiliki semangat pengorbanan. Oleh sebab itu, apabila seorang pemimpin ingin meraih hasil yang terbaik dari peruses kepemimpinanya pemimpin tidak boleh berputus asa.

3.      Kepemimpinan Pendidikan Islam
Pendidikan islam mengandung makna sebagai suatu sistem, yang dalam konteks pendidikan nasional merupakan sub-sistem. Sebagai sistem pendidikan Islam hanya berlaku di pondok-pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya yang memang sepenuhnya berlandaskan ajaran Islam, yang dengan keluarnya UUSPN juga harus berorientasi pada sistem pendidikan nasional sebagai salah satu bentuk jalur pendidikan luar sekolah. Kecuali itu pendidikan Islam juga merupakan nama salah satu ilmu keislaman dibidang pendidikan, atau ilmu pendidikan dibidang agama Islam, yang menjadi slah satu kurikulum di fakultas tarbiyah (pendidikan Islam) (Ludjito dkk, 2010:9). 
Syeikh Muhammad Al-Mubarak menyatakan ada empat syarat seseorang untuk dapat menjadi pemimpin. Pertama, memiliki akidah yang benar (akidah salimah). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas. Ketiga, memili akhlak yang mulia (akhlakul karimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial, memahami ilmu-ilmu administrasi dan menejemen dalam mengatur urusan dunuawi, (Hafidhuddin dan Hendri, 2003: 131).
Dalam memimpin pendidikan Islam dituntut sikap professional dalam menjalankan fungsi kepemimpinan pendidikan Islam. Sifat professional ini digambarkan pada Al-Qur’an surat Al-Isra’: 84, yaitu sebagai berikut:
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا
Arinya: Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”.

Pada ayat diatas, dikemukakan bahwa setiap orang beramal dan berbuat sesuai dengan kemampuan. Artinya, seorang harus bekerja dengan penuh ketekunan dengan mencurahkan seluruh keahliannya. Jika seorang bekerja sesuai dengan kemampuannya, maka akan melahirkan hal-hal yang optimal.
Pimpinan sekolah adalah orang pertama yang bertanggung jawab atas jalannya proses belajar mengajar disekolahnya. Karena pendidikan agama merupakan sub-sistem dari keseluruhan system pendidikan disekolah, maka wajarlah bila pimpinan sekolah menaruh perhatian yang minimal sama dengan perhatiannya terhadap bidang studi lainnya, mengingat bahwa pendidikan agama merupakan substansi yang langsung menyangkut berhasil atau tidaknya mencapai tujuan keimanan dan ketaqwaan (Ludjito dkk, 2010: 33).
Menurut Fathi (2009: 101) ada beberapa karakter yang sangat dibutuhkan dan harus dipenuhi seorang pemimpin pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1.      Hendaknya ia dapat menjadi teladan yang baik .
2.      Seorang pemimpin yang berjiwa pendidik hendaknya ikhlas, juju, tidak materialistis, berilmu, mengetahui prinsip-prinsip pendidikan, dan hendaknya mengetahui masalah-masalah halal dan haram serta mengetahui dasar-dasar etika dan menjadikannya sebagai karakternya.
3.      Hendaknya bermurah hati, berlapang dada dan cermat, sehingga dia akan mampu mengendalikan diri ketika marah, juga tidak mudah terjebak dalam kemarahan dan gegabah. Hendaknya pula ia mempunyai persiapan yang prima untuk menjalankan tugasnya.
4.      Mempergunakan berbagai macam strategi untuk mendidik, yang dapat berupa: pendidikan melalui nasehat; menghubungkan akidah, melalui cerita, pengamatan dan hukuman.

Dari paparan yang telah diuraikan diatas dapat dipahami bahwa banyak kriteria-kriteria yang harus dimiliki pemimpinan pendidikan Islam supaya kepemimpinannya dapat berjalan dengan baik dan tujuan kepemimpinannya tercapai dan sukses.   

Sabtu, 27 Mei 2017

Psikologi Umum (Emosi)

EMOSI
A.    Pengertian Emosi
Mengenai emosi menurut Chaplin berpendapat bahwa defenisi mengenai emosi cukup bervariasi yang dikemukakan oleh para ahli psikolog dari berbagai orientasi. Namun demikian dapat dikemukakan atas general agreement bahwa emosi merupakan reaksi yang kompleks yang mengandung aktivitas dengan derajat yang tinggi dan adanya perubahan dalam kejasmanian serta berkaitan dengan perasaan yang kuat. Karena itu emosi lebih intens dari pada perasaan, dan sering terjadi perubahan prilaku, hubungan dengan lingkungan kadang-kadang terganggu.
Emosi pada umumnya berlangsung dalam waktu yang relative singkat, sehinhgga emosi berbeda dengan mood atau suasana hati pada umumnya berlangsung dalam waktu yang relatif lebih lama daripada emosi, tetapi intensitasnya kurang apabila dibandingkan dengan emosi.
Kalau keadaan perasaan telah begitu kuat, hingga hubungan dengan sekitar terganggu, hal ini telah mengakut masalah emosi. Oleh karena itu sering dikemukakan bahwa emosi merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh situasi tertentu (khusus), dan emosi cenderung terjadi dalam kaitannya dengan prilaku yang mengarah (approach) atau menyingkiri terhadap sesuatu, dan prilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian, sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi.
B.     Teori-Teori Emosi
1.      Teori yang berpijak pada hubungan emosi dengan gejala kejasmanian.
Adanya hubungan antara emosi dengan gejala kejasmanian di antara para ahli tidaklah terdapat perbedaan pendapat. Yang menjadi silang pendapat adalah mana yang menjadi sebab dan akibatnya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan teori-teori yang berkaitan dengan emosi yang bertitik pijak pada hubungan emosi dengan gejala kejasmanian. Dan ini terbagi lagi:
a.       Teori James-Lange
Teori ini mula-mula dikemukakan oleh James (American Psychologist), yang secara kebetulan pada waktu yang sama juga dikemukakan oleh Lange (Danish Physiologist), sehingga teori tersebut dikenal sebagai teori James-Lange. Menurut teori ini emosi merupakan akibat atau hasil persepsi dari keadaan jasmani, orang sedih karena menangis, orang takut karena gemetar dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa gejala kejasmanian merupakan sebab emosi, dan emosi merupakan akibat dari gejala kejasmanian.
b.      Teori Cannon-Bard
Teori ini berpendapat bahwa emosi itu bergantung pada aktivitas dari otak bagian bawah. Teori ini dikemukakan oleh Cannon atas dasar penelitian dari Bard. Teori ini berbeda atau justru berlawanan dengan teori yang dikemukakan oleh James-Lange, yaitu bahwa emosi tidak bergantung pada gejala kejasmanian., atau reaksi jasmani bukan merupakan dasar dari emosi, tetapi emosi justru bergantung pada aktivitas otak atau aktivitas sentral.
c.       Teori Schachter-Singer
Teori ini didasarkan pendapat bahwa emosi yang dialami seseorang merupakan hasil interpretasi dari keadaan jasmani. Schachter dan Singer berpendapat bahwa keadaan jasmani dari timbulnya emosi pada umumnya orang tidak dapat mempersepsi hal ini. Karena teori ini meneropong atas dasar interprestasi, sementara ahli menyebut teori ini sebagai teori kognitif dalam emosi.
2.      Teori hubungan antar emosi
Robert Plutchik mengajukan teori mengenai deskripsi emosi yang berkaitan dengan emosi primer dan hubungan satu dengan yang lain. Menurutnya emosi itu berbeda dalam tiga dimensi, yaitu intensitas, kesamaan, dan polaritas atau pertentangan. Ketiga ini merupakan dimensi yang digunakan untuk mengadakan hubungan emosi yang satu dengan yang lain. 
3.      Teori emosi berkaitan dengan motivasi
Teori mengenai emosi dalam kaitannya dengan motivasi dikemukakan oleh Leeper. Garis pemisah antara emosi dengan motivasi adalah sangat tipis. Misal takut ini adalah emosi, tetapi ini juga motif pendorong perilaku, karena bila orang takut maka maka orang akan terdorong berprilaku kearah tujuan tertentu.
4.      Teori kognitif mengenai emosi
Teori ini dikemukakan oleh Richard Lazarus dan teman-teman sekerjanya, yang mengemukakan teori tentang emosi yang menekankan pada penafsiran atau pengertian mengenai informasi yang datang dari beberapa sumber. Karena penafsiran ini mengandung atau memproses informasi dari luar dan dari dalam (jasmani dan ingatan), maka teori tersebut disebut teori kognitif mengenai emosi.

C.    Macam –Macam Emosi
1.      Emosi sensoris
Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
2.      Emosi psikis
Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, seperti perasaan intelektual, yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran perasaan sosial.


Walgito, Bimo. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: CV. Andi Offset

Jumat, 26 Mei 2017

Kisah Teladan dari Sahabat Bilal bin Rabbah

Adzan terakhir sahabat Bilal

Semua pasti tahu, bahwa pada masa Nabi, setiap masuk waktu sholat, maka yang mengkumandankan adzan adalah Bilal bin Rabah. Bilal ditunjuk karena memiliki suara yang indah. Pria berkulit hitam asal Afrika itu mempunyai suara emas yang khas. Posisinya semasa Nabi tak tergantikan oleh siapapun, kecuali saat perang saja, atau saat keluar kota bersama Nabi. Karena beliau tak pernah berpisah dengan Nabi, kemanapun Nabi pergi. Hingga Nabi menemui Allah ta’ala pada awal 11 Hijrah. Semenjak itulah Bilal menyatakan diri tidak akan mengumandangkan adzan lagi. Ketika Khalifah Abu Bakar Ra. memintanya untuk jadi mu’adzin kembali, dengan hati pilu nan sendu bilal berkata: “Biarkan aku jadi muadzin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”

Abu Bakar terus mendesaknya, dan Bilal pun bertanya: “Dahulu, ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf. Apakah engkau membebaskanmu karena dirimu apa karena Allah?.” Abu Bakar Ra. hanya terdiam. “Jika engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku bersedia jadi muadzinmu. Tetapi jika engkau dulu membebaskanku karena Allah, maka biarkan aku dengan keputusanku.” Dan Abu Bakar Ra. pun tak bisa lagi mendesak Bilal Ra. untuk kembali mengumandangkan adzan.

Kesedihan sebab ditinggal wafat Nabi Saw., terus mengendap di hati Bilal Ra. Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria. Lama Bilal Ra tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Nabi Saw hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya: “Ya Bilal, wa maa hadzal  jafa’? Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?.” Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah pada Nabi. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Nabi.

Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Nabi Saw., pada sang kekasih. Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah cucunda Nabi Saw., Hasan dan Husein. Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Nabi Saw itu. Salah satu dari keduanya berkata kepada Bilal Ra.: “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan buat kami? Kami ingin mengenang kakek kami.” Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga memohon Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja.

Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat tiba, dia naik pada tempat dahulu biasa dia adzan pada masa Nabi Saw masih hidup. Mulailah dia mengumandangkan adzan. Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, itu telah kembali. Ketika Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illallah”, seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sembari berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.

Dan saat bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Nabi, Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Hari itu, madinah mengenang masa saat masih ada Nabi Saw. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi Saw. Dan adzan itu, adzan yang tak bisa dirampungkan itu, adalah adzan pertama sekaligus adzan terakhirnya Bilal Ra, semenjak Nabi Saw wafat. Dia tak pernah bersedia lagi mengumandangkan adzan, sebab kesedihan yang sangat segera mencabik-cabik hatinya mengenang seseorang yang karenanya dirinya derajatnya terangkat begitu tinggi. Semoga kita dapat merasakan nikmatnya Rindu dan Cinta seperti yang Allah karuniakan kepada Sahabat Bilal bin Rabah Ra. Aamiin

Rabu, 24 Mei 2017

اَلْفِقْهُ الْإِسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ

اَلْفِقْهُ الْإِسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ

حَقِيْقَةُ الصَّلاَةِ: اَلصَّلاَةُ لُغَةً: اَلدُّعَاءُ أَوْ اَلدُّعَاءُ بِخَيْرٍ, قَالَ تَعَالَى: {وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنُ لَّهُمْ} [اَلتَّوْبَةُ: 9\103] أَيْ اُدْعُ لَهُمْ. وَشَرْعًا: هِيَ أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مَغْصُوْصَةٌ, مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ, مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمٍ.
مَشْرُوْعِيَتُهَا: اَلصَّلاَةُ وَاجِبَةٌ بِالْكِتَابِ وَالسَّنَةِ وَالْإِجْمَاعِ:
تَارِيْخُهَا وَنَوْعُ فَرْضِيَّتُهَا وَفَرَائِضُهَا: فُرِضَتِ الصَّلاَةُ لَيْلَةُ الْإِسْرَاءِ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِنَحْوِ خَمْسِ سِنِيْنَ عَلَى الْمَشْهُوْرِ بَيْنَ أَهْلِ السِّيَرِ, لِحَدِيْثِ أَنَسٍ, قَالَ: «فُرِضَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلصَّلَوَاتُ لَيْلَةٌ أُسْرِيَ بِهِ خَمْسِيْنَ, ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا, ثُمَّ نُوْدِيَ: يَامُحَمَّدُ, إِنَّهُ لَا يُبَدِّلُ الْقَوْلَ لَدَيَّ, وَإِنَّ لَكَ بِهَذِهِ الْخَمْسَةِ خَمْسِيْنَ». وَقَالَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ: فُرِضَتْ لَيْلَةُ الْإِسْرَاءِ قَبْلَ السَّبْتِ سَابِعَ عَشَرَ مِنْ رَمَضَانَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِسَنَّةٍ وَنِصْفٍ. وَجَزَمَ اَلْحَا فِظُ اِبْنُ حَجَرٍ بِأَنَّهُ لَيْلَةُ السَّابِعِ وَالْعِشْرِيْنَ مِنْ رَجَبٍ, وَعَلَيْهِ عَمَلُ أَهْلِ الْأَمْصَارِ.
وَالصَّلَوَاتُ الْمَكْتُوْبَاتُ خَمْسٌ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ, وَلاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ وُجُوْبِهَا, وَلاَ يَجِبُ غَيْرَهَا إِلاَ بِنَذْرٍ, لِلْأَحَادِيْثِ السَّابِقَةِ, وَالِحَدِيْثِ الْأَعْرَابِيْ: «خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ» قَالَ الْأَعْرَابِيُ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: «لاَ, إِلاَّ تَطَّوُعٌ», وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذٍ حِيْنَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ: «أَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ».
وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ رَحِمَهُ الله: اَلْوِتْرُ وَاجِبٌ, لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللهَ قُدْ زَادَكُمْ صَلاَةٌ, وَهِيَ اَلْوِتْرُ» وَهَذَا يَقْتَضِيْ وُجُوْبَهُ, وَقَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: «اَلْوَتْرُ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ».

Hakikat Shalat: shalat secara bahasa: adalah do’a atau do’a dengan kebaikan, Allah swt. berfirman: {berdo’alah kepada mereka sesungguhnya do’a kamu itu menjadi [At-Taubah 9:103] maksudnya yaitu, berdoalah atas mereka secara syariat, shalat adalah perkataan, dan perbuatan yang khusus dimulai dengan takbir, dan diakhiri dengan salam.
Syariat shalat: shalat wajib berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’:
Sejarah shalat dan macam-macam kewajibannya: shalat diwajibkan pada malam Isra’ sebelum hijrah pada sekitar tahun 5 H. menurut pendapat yang mahsyur dikalangan ahli sejarah, berdasarkan hadis riwayat Anas, dia berkata: “shalat diwajibkan atas Nabi pada malam Nabi Muhammad di Isra’kan sebanyak 50 kali, kemudian dikurangi sampai menjadi 5 kali, kemudian Nabi Muhammad dipanggil: wahai Muhammad, pergantian itu tidak mempengaruhi, sesungguhnya 5 kali shalat ini nilainya sama dengan 50”. Menurut sebahagian ulama bermazhab Hanafi: shalat diwajibkan pada malam Isra’ sebelum hari sabtu pada tanggal 17 Ramadhan satu tahun setengah sebelum hijrah. Al-Hafiz ibnu Hajar menguatkan bahwa shalat diwajibkan pada malam 27 rajab, begitu juga menurut amal ahli amshor.
Adapun shalat yang diwajibkan ada 5 dalam sehari semalam, tidak ada perbedaan antara kaum muslimin mengenai kewajibannnya, dan tidak ada kewajiban lainnya kecuali berdasarkan nazar, berdasarkan hadis yang telah lalu, dan hadis seorang A’rabi bertanya pada Rasulullah, Rasul menyampaikan: “5 kali shalat sehari semalam”, laki-laki itu bertanya: “apakah ada yang lain untukku ya Rasulullah?”. Berkata Rasul: “tidak, kecuali shalat sunnah”. dan berdasarkan sabda Nabi saw. kepada muadz ketika mengutusnya ke Yaman: “kabarkan kepada penduduk Yaman bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat 5 kali dalam sehari semalam”. 

Imam Abu Hanifah berpendapat, shalat witir itu wajib, berdasarkan sabda Rasulullah saw. “sesungguhnya Allah telah menambahkan satu shalat kepada kalian, yaitu witir”, hadis ini menuntut akan kewajiban shalat witir, Nabi saw. bersabda “witir itu wajib bagi setiap muslim”.  

Surat Undangan

     
Persatuan Remaja Islam Masjid
(PRIMAS) Al-Firdaus

Sekretariat : Jl. Pembangunan Dusun VII, Desa Tanjung Rejo Telp: 085297460008

Selasa, 23 Mei 2017

Sebaik-baik Manusia

Sebaik-baiknya Manusia

Sungguh beruntung bagi siapapun yang dikaruniai ALLOH kepekaan untuk mengamalkan aneka pernik peluang kebaikan yang diperlihatkan ALLOH kepadanya. Beruntung pula orang yang dititipi ALLOH aneka potensi kelebihan oleh-Nya, dan dikaruniakan pula kesanggupan memanfaatkannya untuk sebanyak-banyaknya umat manusia.

Karena ternyata derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauhmana dirinya punya nilai manfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda, "Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain" (H.R. Bukhari).

Seakan hadis ini mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauhmana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauhmana nilai manfaat diri ini? Kalau menurut Emha Ainun Nadjib, harusnya tanyakan pada diri ini apakah kita ini manusia wajib, sunat, mubah, makhruh, atau malah manusia haram?
Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau adanya sangat dirindukan, sangat bermanfaat, bahkan perilakunya membuat hati orang disekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang 'manusia wajib', diantaranya dia seorang pemalu yang jarang mengganggu orang lain, sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada hanya berbicara.

Sedikit kesalahannya, tidak suka mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat nikmat kalau ia berbuat kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturahmi, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan mengendalikan diri, serta penuh kasihsayang.

Sama sekali bukan kebiasaan bagi yang akhlaknya baik perilaku melaknat, memaki-maki, memfitnah, menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil, ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena ALLOH, membenci karena ALLOH, dan marahnya pun karena ALLOH SWT, subhanallah demikian indah hidupnya.

Karenanya, siapapun di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa terngiang-ngiang. Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang sedang membara. Jikalau saja orang berakhlak mulia ini tidak ada, maka siapapun akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga kalbu ini. Orang yang wajib, adanya pasti penuh manfaat dan kalau tidak ada, siapapun akan merasa kehilangan. Begitulah kurang lebih perwujudan akhlak yang baik, dan ternyata ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian yang baik pula.

Kalau orang yang sunah, keberadaannya bermanfaat, tapi kalaupun tidak ada tidak tercuri hati kita. Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena kedalaman dan ketulusan amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam. Karena hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya, kalau kita berjumpa dengan orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga kalbu siapapun.

Sedangkan orang yang mubah ada dan tidak adanya tidak berpengaruh. Di kantor kerja atau bolos sama saja. Seorang pemuda yang ketika ada di rumah keadaan menjadi berantakan, dan kalau tidak adapun tetap berantakan. Inilah pemuda yang mubah. Ada dan tiadanya tidak membawa manfaat, dan tidak juga membawa mudharat.

Adapun orang yang makruh, keberadaannya justru membawa mudharat dan kalau dia tidak ada tidak berpengaruh. Artinya, kalau dia datang ke suatu tempat maka orang merasa bosan atau tidak senang. Misalnya, ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor suasana rumah sangat tenang, tetapi seketika klakson dibunyikan tanda bahwa ayah sudah datang, anak-anak malah lari ke tetangga, ibu cemas, dan pembantu pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan masalah.

Seorang anak yang makruh, kalau pulang sekolah justru masalah pada bermunculan, dan kalau tidak pulang suasana malah menjadi aman tentram. Ibu yang makruh diharapkan anak-anaknya untuk segera pergi arisan daripada ada di rumah. Sedangkan karyawan yang makruh, kehadirannya di tempat kerja hanya melakukan hal yang sia-sia daripada bersungguh-sungguh menunaikan tugas kerja.

Lain lagi dengan orang bertipe haram, keberadaannya malah dianggap menjadi musibah, sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Jikasaja dia pergi ngantor, justru perlengkapan kantor pada hilang, maka ketika orang ini dipecat semua karyawan yang ada malah mensyukurinya.

Masya ALLOH, tidak ada salahnya kita merenung sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak yang menguntungkan orang tua atau malah hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa mendapat manfaat tidak dengan kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai manusia apa, wajib, sunah, mubah, makhruh, atau haram? Kenapa tiap kita masuk ruangan teman-teman malah pada menjauhi, apakah karena perilaku sombong kita?

Kepada ibu-ibu, hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah anak-anak kita sudah merasa bangga punya ibu seperti kita? Punya manfaat tidak kita ini? Bagi ayah cobalah mengukur diri, saya ini seorang ayah atau seorang gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat? Kepada para mubaligh, harus bertanya nih, benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya mencari penghargaan dan popularitas saja?

Nampaknya, saat bercermin seyogyanya tidak hanya memperhatikan wajah saja, tapi pandanglah akhlak dan perbuatan yang telah kita lakukan. Sayangnya, jarang orang berani jujur dengan tidak membohongi diri, seringnya malah merasa pinter padahal bodoh, merasa kaya padahal miskin, merasa terhormat padahal hina. Padahal untuk berakhlak baik kepada manusia, awalnya dengan berlaku jujur kepada diri sendiri.

Kalaupun mendapati orang tua kita berakhlak buruk. Sadarilah bahwa darah dagingnya melekat pada diri kita, karenanya kita harus berada di barisan paling depan untuk membelanya demi keselamatan dunia dan akhiratnya. Bagi orang tua yang belum Islam, kewajiban seorang anaklah yang bertanggung jawab mengikhtiarkannya jalan hidayah. Apabila orang tua berlumur dosa dan belum mau melakukan shalat, maka seorang anaklah yang berada pada barisan pertama membantu orang tua kita menjadi seorang ahli ibadah dan ahli taubat.
Ingatlah, walau bagaimanapun kita punya hutang budi pada orang tua kita. Keburukan yang ada pada mereka, jangan menjadikan kebencian, jangan pula menyalahkan dan menyesali diri, "kenapa saya lahir dari orang tua yang sudah cerai?" misalnya. Atau adapula anak yang sibuk menyalahkan diri, karena tidak pernah tahu keberadaan orang tuanya. Sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya menyalahkan keadaan. Lebih baik kita tanyakan pada diri ini, apakah sudah punya manfaat tidak kita ini? Makin banyak manfaat yang kita lakukan dengan ikhlas, insya ALLOH itulah rizki kita.

Begitu pula terhadap lingkungan, kita harus punya akhlak tersendiri. Seperti pada binatang, kalau tidak perlu tidak usah kita menyakitinya. Ada riwayat seorang ibu ahli ibadah, tapi ALLOH malah mencapnya sebagai ahli neraka. Mengapa? Ternyata karena si ibu ahli ibadah ini pernah mengurung kucing dalam sebuah tempat, sehingga si kucing tidak mendapatkan jalan keluar untuk mencari makan, padahal oleh si ibu tidak pula diberi makan, sampai akhirnya kucing itu mati. Karenanya, walau si ibu ini ahli ibadah, tapi ALLOH melaknatnya karena akhlak pada makhluknya jelek.

Kadang aneh kita ini, ketika duduk di taman nan hijau, entah sadar atau tidak kita cabuti rumput atau daun-daunan yang ada tanpa alasan yang jelas. Padahal rumput, daun, dan tumbuh-tumbuhan yang ada di alam semesta ini semuanya sedang bertasbih kepada-Nya. Yang paling baik adalah jangan sampai ada makhluk apapun di lingkungan kita yang tersakiti. Termasuk ketika menyiram atau memetik bunga, tanaman, atau tumbuhan lainnya, hendaklah dengan hati-hati, karena tanaman juga mengerti apa yang dilakukan kita kepadanya. Dikisahkan ketika Nabi SAW pindah mimbar, yang asalnya menyandar pada sebuah pohon kurma, maka pohon kurma itu diriwayatkan sangat sedih dan menangis, karena ia telah ditinggalkan sebagai alat bantu Rasulullah SAW dalam menyampaikan ilmu kepada para sahabatnya.

Kejadian lain adalah ketika seorang hamba yang shalih dihampiri seekor singa yang mengaum-ngaum seakan hendak menerkamnya. Tentu saja semua orang yang melihat kejadian ini berlari ketakutan. Anehnya, hamba yang shalih ini sama sekali tidak kelihatan merasa takut, kenapa? Karena dia yakin bahwa singa juga makhluk dalam genggaman ALLOH dan sama-sama sedang bertasbih kepada-Nya. Seraya mengajak berbicara layaknya pada makhluk yang bisa diajak bicara, "Mau apa kesini? Kalau tidak ada kewajiban dari ALLOH dan hanya untuk mengganggu masyarakat, alangkah baiknya engkau pergi", maka pergilah singa itu, subhanallah. Demikianlah, orang yang takutnya hanya kepada ALLOH, makhluk pun tunduk kepadanya.

Seperti halnya ketika ada ular di halaman rumah, maka bagi orang yang akhlaknya baik dan dia merasa tidak terganggu, sama sekali dia tidak akan membunuhnya, malah ditolongnya si ular ini untuk bisa kembali ke habitatnya, itu yang lebih baik. Kalaupun dirasa mengganggu sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus dibunuh, maka ia akan membunuhnya dengan cara terbaik, dan tidak lupa disebutnya asma ALLOH. Jadilah proses membunuh ular ini sebagai ladang amal.

Betapa indah pribadi yang penuh pancaran manfaat, ia bagai cahaya matahari yang menyinari kegelapan, menjadikannya tumbuh benih-benih, bermekarannya tunas-tunas, merekahnya bunga-bunga di taman, hingga menggerakkan berputarnya roda kehidupan. Demikianlah, cahaya pribadi kita hendaknya mampu menyemangati siapapun, bukan hanya diri kita, tetapi juga orang lain dalam berbuat kebaikan dengan full limpahan energi karunia ALLOH Azza wa Jalla, Zat yang Maha Melimpah energi-Nya, subhanallah. Ingatlah, hidup hanya sekali dan sebentar saja, sudah sepantasnya kita senantiasa memaksimalkan nilai manfaat diri ini, yakni menjadi seperti yang disabdakan Nabi SAW, sebagai khairunnas. Sebaik-baik manusia! Insya ALLOH.

Ilmuwan Muslim Klasik

Ilmuwan Muslim Klasik Oleh: kelompok 8 (Muhammad Qudrat S. Ahmad Murdani. Nur Habibah. Sumondang Marito H. Jainuddin Dai) A.     Im...