Kepemimpinan merupakan tanggung
jawab, bukan merupakan fasilitas tetapi kepemimpinan memerlukan pengorbanan dan
melayani orang yang dipimpin. Di dalam Islam, arti pentingnya kepemimpinan
antara lain ditegaskan dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan tirmidzi dari Ibnu Umar, adapun hadisnya adalah
sebagai berikut:
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a.
berkata, Rasulullah saw. Bersabda, kamu sekalian adalah pemimpin dan akan
dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinanmu. Seorang Imam adalah pemimpin
dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang ayah
adalah pemimpin dan ia dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.
Seorang Ibu adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinannya. Seorang pembantu adalah pemimpin dan ia dimintai pertanggung
jawabannya dalam mengurus harta dan kekayaan taunnya. Seorang anak adalah
pemimpin dan ia dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya dalam menjaga
harta benda ayahnya. Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. (H.R. Ahmadi).
Dari hadis diatas dapat disimpulkan
bahwa selama manusia masih merupakan makhluk sosial, mereka selalu ingin hidup
bersama dalam masyarakat, maka setiap orang akan dituntut untuk mengambil
perannya sebagai seorang pemimpin di masyarakatnya masing-masing baik dalam
masyarakat yang primitif maupun modern. Masing-masing individu harus
mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukannya, baik sebagai pemimpin
resmi yang diangkat oleh kelompoknya maupun pemimpin alami, seperti dalam
keluarga.
Menurut Hafidhuddin dan Hendri
(2003: 199-194) ada beberapa istilah yang merujuk pada pengertian pemimpin,
yaitu: pertama, umara yang sering juga disebut dengan ulul amri. Kedua,
pemimpin yang disebut khadimul ummah (pelayan umat). Selain kata yang
telah disebutkan sebelumnya ada istilah lain yang sering digunakan, seperti: amir,
khalifah, sultan, dan bahkan imam.
Setelah menelusuri Al-Qur’an dan
Hadis dapat diperhatikan bahwa ada empat sifat yang harus dipeuhi oleh
seseorang pemimpin dirujuk kepada kepemimpinanpara nabi yang pada hakikatnya
adalah pemimpin umatnya. Adapun empat sifat tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Ash-Shidq
Ash-Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap,
dalam kepemimpinan berjuang melaksanakan tugasnya sebagai seorang pemimpin.
Ash-Shidq adalah kata yang digunakan untuk mengungkapkan keberadaan sesuatu
sesuai dengan kenyataan dalam kejadian dan kenyataan, dan kata ini juga
digunakan untuk mengungkapkan sesuatu kejadian secara sempurna (Fathi,
2007:173). Dalam kepemimpinan ini sifat jujur merupakan modal utama untuk
menciptakan kepemimpinan yang sukses. Karena dengan sifat jujur itu pemimpin
akan dicintai oleh bawahannya. Dengan dicintai bawahannya maka pemimpin itu
termasuk pemimpin yang sukses, karena ada empat criteria sukses yang
digambarkan oleh Hafidhuddin dan Hendri (2003:125) yaitu: 1) pemimpin yang
dicintai bawahannya; 2) pemimpin yang mampu menampung aspirasi bawahannya; 3)
pemimpin yang suka bermusyawarah; 4) pemimpin yang tegas.
b.
Amanah
Amanah,
berarti memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban.
Amanah ditampilkan dalm keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan
ihsan (berbuat yang baik) dalam segala hal (Hafidhuddin dan Hendri, 2003:75).
Pemimpin seharusnya memelihara sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepadanya,
baik amanah dari Allah swt. Maupun dari orang-orang yang dipimpinnya, sehingga
tercipta rasa aman bagi semua kalangan. Berkaitanh dengan amanah bagi pemimpin
dapat dilihat pada surat An-Nisa’: 59, yaitu sebagai berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
Pada ayat
diatas dikatakan bahwa ulil amri atau pejabat adalah orang yang mendapat
amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah
orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang
tidak mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin. Dalam suatu
perusahaan, jika ada direktur yang tidak mengurus kepentingan perusahaannya,
maka itu bukan seorang direktur (Hafidhuddin dan Hendri, 2003:119-120).
Pemimpin harus bertanggung jawab dalam melaksanakan amanah yang telah
dibebankan kepadanya apabila pemimpin telah amanah dan bertanggung jawab dalam
melaksanakan setiap tugas dan tanggung jawabnya, maka kepemimpinannya akan
sukses karena dengan sifat amanah yang ditampilkan dari kejujuran, keterbukaan,
dan pelayan yang optimal akan didukung sepenuhnya oleh bawahannya.
c.
Fathanah
Fathanah, yaitu kecerdasan dalam kepemimpinan sifat cerdas dari
seorang pemimpin akan melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi
persoalan atau konflik yang muncul dalam kepemimpinannya. Konflik adalah
sesuatu yang wajar dalam peruses kepemimpinan untuk itu diperlukan kepandaian
dalam menghadapinya dan ketepatan dalam mengambil keputusan. Pada zaman
Rasulullah saw. Melakukan ishlah (Hafidhuddin dan Hendri, 2003:193-194).
Ishlah adalah salah satu cara menghadapi konflik supaya tidak
berkepanjangan, dengan ishlah diharapkan konflik yang terjadi akan dapat
diselesaikan.
d.
Tabligh
Tabligh, yaitu
penyampaian yang jujur dan bertanggung jawab, atau dapat diistilahkan dalam
kepemimpinan sebagai keterbukaan. Pola sifat tabligh ini dapat diterapkan
sebagai cara komunnikasi dan dialog yang baik dalam tempat sesuai dengan
kebutuhan dalam peruses kepemimpinan yang dilakukan model dialog Nabi Muhammad
yang mengembangkan persahabatan, kedamaian antar umat manusia harus
dipraktekkan dalam era globalisasi (Ludjito dkk., 2010:95).
Tabligh,
berarti mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Tabligh, yang disampaikan dengan hikmah, sabar, argumentatif, dan persuasif
akan menumbuhkan kemanusiaan yang semakin solid dan kuat (Hafidhuddin dan
Hendri, 2003: 75). Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus memiliki sifat
persuasif dan sabar sehingga dapat menciptakan situasi kepemimpinan yang aman
dan damai. Pemimpin yang baik dan professional harus pandai memilih komunikasi
yang tepat bagi bawahannya dimana dia dituntuk untuk sabar dalam bersikap dan
berdialog atau komunikasi dengan hikmah.
2.
Unsur Kepemimpinan dalam Islam
Pemimpin adalah orang yang memiliki
peran yang sangat pentting dalam sebuah organisasi. Kesuksesan tujuan
organisasi sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan seorang pemimpin. Menurut
Fathi(2009:144) ada beberapa unsure yang harus dimiliki seorang pemimpin,
antara lain yaitu: a.Asy-Syura, b.Al-Muru’ah, c.Al-Jud wa Al-Karam,
d.Al-Jur’ahg fi Al-Haq, e.Ash-Shidq, f.Al-Intima’, g.At-Tafaul, h.Al-Marah
Al-Mazah, i.At-Ta’aruf ala Thabi’ah Al-Mujatama’, j.I’dad Ash-Shaf Ats Tsani
min Al-Qiyadah.
Unsur-unsur yang sangat urgen bagi
pemimpin dalam kepemimpinan yang mesti dikuasai oleh seoarang pemimpin antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Musyawarah
Islam telah
menganjurkan muusyawarah dan memerintahkannya dalam banyak ayat dalam
Al-Qur’an. Musyawarah merupakan suatu hal terpuji dalam kehidupan individu,
keluarga, masyarakat dan Negara untuk mendapatkan hasil keputusan yang terbaik.
Adapun ayat Al-Qur’an yang membicarakan musyawarah ini antara lain adalah surat
Asy-Syura: 36-38 sebagai berikut:
فَمَا
أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ
خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ *
وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا
غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ * وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا
الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya: “Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah
kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih
kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka
bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka member maaf. Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka, dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka”.
Pada ayat diatas dapat dilihat bagaimana urgensi musyawarah dalam
kehidupan. Sayyid Quttub mengatakan, “ayat-ayat ini menggambarkan beberapa
kekhususan umat ini yang merupakan ciri khas mereka. Ayat tersebut diturunkan
di Mekkah sebelum berdirinya Negara Islam Madinah. salah satu sifat dari umat
Islam adalah seperti tertulis pada ayat “sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarah diantara mereka”. Maka tidak mungkin diperintahkan
melaksanakan musyawarah secara mendalam dalam kehidupan kaum Muslimin, apabila
hanya sekedar untuk dijadikan undang-undang poilitik sebuah Negara (Fathi,
2009:145). Oleh sebab itu dalam peruses kepemimpinan dibutuhkan proses
musyawarah sehingga keputusan yang diambil bukan keputusan sepihak kemudian
dalam menjalankan hasil keputusan akan lebih mudah karena keputusan yang
diambil adalah hasil keputusan bersama yang bersumber dari musyawarah.
b.
Keberanian
dalam Kebenaran
Sifat
berani dalam kebenaran merupakan kekuatan jiwa yang mengagumkan yang dimiliki
seorang pemimpin sebagai buah dari keimanan hanya kepada Allah yang maha Esa,
pendidikan dari lingkungan sekitarnya, kebenaran dari keyakinannya dan
kemampuan yang dimilikinya (Fathi, 2009:166). Allah memuji orang-orang yang menyampaikan
risalah Allah dan hanya takut kepadanya dan tidak takut kepada siapapun
sebagiamana Allah sebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 39 sebagai berikut:
الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ
وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ
حَسِيبًا
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menyapaikan
risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut
kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat
Perhitungan”.
Pada ayat
diatas Allah sebutkan bahwa orang yang takut kepada Allah tidak takut kepada
siapapun karena Allah yang akan sebagai pembuat perhitungan. Berani menegakkan
kebenaran termasuk akhlak yang terpuji bagi seorang pemimpin. Sifat ini
digunakan pada saat member nasehat, petunjuk atau ketika untuk membenarkan
kesalahan. Walaupun demikian, seorang pemimpin harus menunjukkan sikap tegas
dan jujur memberikan keterangan tentang kesalahan anggotanya demi menanamkan
kedisiplinan (Fathi, 2009:172). Oleh sebab itu seorang pemimpin yang bijaksana
harus berani menegakkan kebenaran demi terciptannya kepemimpinan yang adail
sehingga mendatangkan kesejahteraan bagi umat.
c.
Optimisme
Optimism adalah kekuatan jiwa yang positif dan efektif. Orang yeng
bersifat optimisme akan melihat hari esok dengan senyum penuh harapan. Ia akan
melangkah untuk meraih tujuan yang diidamkannya dengan berjiwa pemimpin yang
pemberani, dengan psikologi seorang lelaki yang perkasa serta jauh dari rasa
putus asa dan putus harapan (Fathi, 2009:187).
Sifat
optimisme yang dimiliki oleh pemimpin akan menghindarkan dirinya dari sifat
mudah berputus asa, dimana putus asa adalah sifat yang sangat merugikan dalam
kepemimpinan. Allah swt. Berfirman dalam surat Ar-Rum: 36 tentang sifat orang
yang berputus asa, yaitu sebagai berikut:
وَإِذَا أَذَقْنَا النَّاسَ رَحْمَةً
فَرِحُوا بِهَا ۖ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ إِذَا
هُمْ يَقْنَطُونَ
Artinya: “apabila Kami rasakan sesuatu rahmat
kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. Dan apabila mereka
ditimpa suatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh
tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa”.
Berdasarkan
ayat diatas disebutkan bahwa putus asa menimpa orang yang lemah dalam pendirian dan tidak memiliki semangat
pengorbanan. Oleh sebab itu, apabila seorang pemimpin ingin meraih hasil yang
terbaik dari peruses kepemimpinanya pemimpin tidak boleh berputus asa.
3.
Kepemimpinan Pendidikan Islam
Pendidikan islam mengandung makna
sebagai suatu sistem, yang dalam konteks pendidikan nasional merupakan
sub-sistem. Sebagai sistem pendidikan Islam hanya berlaku di pondok-pondok
pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya yang memang sepenuhnya berlandaskan
ajaran Islam, yang dengan keluarnya UUSPN juga harus berorientasi pada sistem
pendidikan nasional sebagai salah satu bentuk jalur pendidikan luar sekolah.
Kecuali itu pendidikan Islam juga merupakan nama salah satu ilmu keislaman
dibidang pendidikan, atau ilmu pendidikan dibidang agama Islam, yang menjadi
slah satu kurikulum di fakultas tarbiyah (pendidikan Islam) (Ludjito dkk, 2010:9).
Syeikh Muhammad Al-Mubarak
menyatakan ada empat syarat seseorang untuk dapat menjadi pemimpin. Pertama,
memiliki akidah yang benar (akidah salimah). Kedua, memiliki ilmu
pengetahuan dan wawasan yang luas. Ketiga, memili akhlak yang mulia (akhlakul
karimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial, memahami ilmu-ilmu
administrasi dan menejemen dalam mengatur urusan dunuawi, (Hafidhuddin dan
Hendri, 2003: 131).
Dalam memimpin pendidikan Islam
dituntut sikap professional dalam menjalankan fungsi kepemimpinan pendidikan
Islam. Sifat professional ini digambarkan pada Al-Qur’an surat Al-Isra’: 84,
yaitu sebagai berikut:
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ
فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا
Arinya: “Katakanlah: "Tiap-tiap orang
berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui
siapa yang lebih benar jalannya”.
Pada ayat diatas, dikemukakan bahwa
setiap orang beramal dan berbuat sesuai dengan kemampuan. Artinya, seorang
harus bekerja dengan penuh ketekunan dengan mencurahkan seluruh keahliannya.
Jika seorang bekerja sesuai dengan kemampuannya, maka akan melahirkan hal-hal
yang optimal.
Pimpinan sekolah adalah orang
pertama yang bertanggung jawab atas jalannya proses belajar mengajar
disekolahnya. Karena pendidikan agama merupakan sub-sistem dari keseluruhan
system pendidikan disekolah, maka wajarlah bila pimpinan sekolah menaruh
perhatian yang minimal sama dengan perhatiannya terhadap bidang studi lainnya,
mengingat bahwa pendidikan agama merupakan substansi yang langsung menyangkut
berhasil atau tidaknya mencapai tujuan keimanan dan ketaqwaan (Ludjito dkk,
2010: 33).
Menurut Fathi (2009: 101) ada
beberapa karakter yang sangat dibutuhkan dan harus dipenuhi seorang pemimpin
pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1.
Hendaknya
ia dapat menjadi teladan yang baik .
2.
Seorang
pemimpin yang berjiwa pendidik hendaknya ikhlas, juju, tidak materialistis,
berilmu, mengetahui prinsip-prinsip pendidikan, dan hendaknya mengetahui
masalah-masalah halal dan haram serta mengetahui dasar-dasar etika dan
menjadikannya sebagai karakternya.
3.
Hendaknya
bermurah hati, berlapang dada dan cermat, sehingga dia akan mampu mengendalikan
diri ketika marah, juga tidak mudah terjebak dalam kemarahan dan gegabah.
Hendaknya pula ia mempunyai persiapan yang prima untuk menjalankan tugasnya.
4.
Mempergunakan
berbagai macam strategi untuk mendidik, yang dapat berupa: pendidikan melalui
nasehat; menghubungkan akidah, melalui cerita, pengamatan dan hukuman.
Dari paparan yang telah diuraikan diatas dapat dipahami bahwa
banyak kriteria-kriteria yang harus dimiliki pemimpinan pendidikan Islam supaya
kepemimpinannya dapat berjalan dengan baik dan tujuan kepemimpinannya tercapai
dan sukses.