Selamat Datang di Blog Saya

Senin, 31 Juli 2017

Dialog antara Rasulullah & Iblis

*Rasulullah* bertanya : 
"Apa yg kau rasakan jika melihat seseorang dari umatku hendak Sholat ?"
*Iblis* menjawab :
"Aku merasa Panas dingin dan Gementar"
*Rasulullah* : “Kenapa ?”
*Iblis* :
"Sebab setiap seorang hamba berSujud 1X kepada Allah, Allah mengangkatnya 1 Derajat”
*Rasulullah* :
“Jika seorang umatku berpuasa ?”
*Iblis* :
“Tubuhku terasa terikat hingga dia berbuka”
*Rasulullah* : “Jika ia berhaji ?”
*Iblis* :
“Aku seperti orang Gila”
*Rasulullah* :
“Jika ia membaca Al-Quran ?”
*Iblis* :
“Aku merasa meleleh laksana air timah di atas Api”
*Rasulullah* :
“Jika ia bersedekah ?”
*Iblis* :
“Itu sama saja org tersebut membelah tubuhku dgn gergaji”
*Rasulullah* :
“Mengapa bisa begitu ?“
*Iblis*:
”Sebab dalam sedekah ada 4 keuntungan baginya, yaitu :
1. Keberkahan dlm hartanya,
2. Hidupnya disukai,
3. Sedekah itu kelak akan menjadi hijab antara dirinya dgn api neraka,
4. Terhindar dari segala macam musibah akan terjauh darinya,
*Rasulullah* :
“Apa yg dapat mematahkan pinggangmu ?"
*Iblis* :
“Suara kuda perang di jalan Allah”
*Rasulullah* :
“Apa yg dapat melelehkan tubuhmu ?”
*Iblis* :
“Taubat org yg bertaubat”
*Rasulullah* :
Apa yg dpt membakar hatimu?”
*Iblis* :
“Istighfar di waktu siang & malam”
*Rasulullah* :
“Apa yg dpt mencoreng wajahmu ?”
*Iblis* :
“Sedekah yang diam-diam”
*Rasulullah* :
“Apa yg dpt menusuk matamu ?”
*Iblis* :
“Sholat fajar”
*Rasulullah* :
“Apa yg dpt memukul kepalamu ?”
*Iblis* :
“Sholat berjamaah”
*Rasulullah* :
“Apa yg paling mengganggumu ?”
*Iblis* :
“Majlis para ulama”
*Rasulullah* :
“Bagaimana cara makanmu ?”
*Iblis* :
“Dengan Tangan kiri dan jariku”
*Rasulullah*:
“Dimanakah kau menaungi anak2mu di musim panas ?”
*Iblis* :
“Dibawah kuku Manusia”
*Rasulullah* :
“Siapa temanmu wahai iblis ?”
*Iblis* :
“Pezina”
*Rasulullah* :
“Siapa teman tidurmu ?”
*Iblis* :
“Pemabuk”
*Rasulullah* :
“Siapa tamumu ?”
*Iblis* :
“Pencuri”
*Rasulullah* :
“Siapa utusanmu ?”
*Iblis* :
“Tukang Sihir (Dukun)”
*Rasulullah* :
“Apa yg membuatmu Gembira ?”
*Iblis* :
“Bersumpah untuk cerai”
*Rasulullah* :
“Siapa kekasihmu ?”
*Iblis* :
“Org yg meninggalkan Sholat Jumat”
*Rasulullah* :
“Siapa Manusia yg paling
membahagiakanmu ?"
*Iblis* :
“Org yg meninggalkan sholat dengan sengaja"

Selasa, 18 Juli 2017

DALIL-DALIL HUKUM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu hukum.

Dalil – dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang disepakati dan ada juga yang tidak disepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak, akan tetapi yang tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas.

Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati adalah Isthisan, isthisab, Maslahah Mursalah, Urf, Mahzab Shahabi, dan syaru man Qoblama. Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian, yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum.

Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang disepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk membekali diri kita dalam mengambil sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai sesuatu hukum.

B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun remusan masalah dalam judul hukum yang disepakati dan tidak disepakati dapat pemakalah rumuskan:
1.      Apa saja dalil hukum yang disepakati?
2.      Apa saja dalil hukum yang tidak disepakati?

C.    TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan dalam judul hukum yang disepakati dan tidak disepakati adalah:
1.      Untuk menambah ilmu pengetahuan bagi para pembaca seputar dalil-dalil hukum Islam yang disepakati dan tidak disepakati.
2.      Sebagai saran untuk mengetahui hukum-hukum yang ada dalam agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

Hukum (peraturan/norma) adalah suatu hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Dengan adanya Hukum dalam Islam berarti ada batasan-batasan yang harus dipatuhi dalam kehidupan. Kerena tidak bisa dibayangkan jika tidak ada hukum, seseorang akan semaunya melakukan sesuatu perbuatan termasuk perbuatan maksiat.
Syariat Islam diturunkan yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan yakni semua permasalahan dan akibat-akibatnya.
Syatibi mengemukakan dalam maqoshid syariah  bahwa tujuan Allah dalam menetapkan hukum, dengan penjelasan bahwa tujuan hukum itu adalah satu, yakni untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan.
Jadi, tujuan syariat mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Karenanya beramal shaleh menjadi tuntutan dunia dan kemaslahatannya merupakan buah dari amal, yang hasilnya akan diperoleh nanti di akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir”. (Qs. 17:18)

A.    Dalil Hukum Islam Yang Disepakati

1.      Al-Qur’an
a.      Pengertian Al-Qur’an
Munurut sebagian besar ulama, kata Al-Qur’an berdasarkan segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata “Qara’a”, yang artinya membaca. Sedangkan definisi Al-Qur’an secara istilah, menurut sebagian besar ulama ushul fiqih adalah sebagai berikut :
كلام الله تعالى المترل على محمد صلى الله عليه وسلم باللفظ العربى المنقول الينا بالتواتر المكتوب بالمصاحف المتعبد بتلا وته المبدوء بالفاتحة والمختوم بسورة الناس.
“Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf, dimulai dari surah Al-Fatihah dan ditutup dengan surah An-Naas.”
Dari defenisi diatas, para ulama ushul fiqih menyimpulkan beberapa ciri khas Al-Qur’an, antara lain sebagai berikut:
b.      Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. dengan demikian, apabila bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada nabi Muhammad saw., tidak mungkin dinamakan Al-Qur’an, seperti Zabur, Taurat, dan Injil. Ketiga kitab tersebut memang termasuk diantar kalam Allah, tetapi bukan diturunkan kepada nabi Muhammad saw., sehingga tidak dapat disebut Al-Qur’an.
c.       Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab Quraisy. Seperti ditunjukkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an antara lain: Asy-Syu’ara : 192-195, Yusuf : 2, dan Ibrahim : 4. Maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjenahan Al-Qur’an tidak dinamakan Al-Qur’an, serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak sah shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan Al-Qur’an.
d.      Al-Qur’an itu dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir (diturunkan kepada orang banyak sampai sekarang. Mereka itu tidak sepakat untuk berdusta), tanpa perubahan dan pergantian satu katapun.
e.       Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an itu mendapatkan pahala dari Allah, baik bacaan itu berasal dari hapalan sendiri maupun dibaca langsung dari mushaf Al-Qur’an.
f.       Al-Qur’an dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Naas. Tata urutan surah yang terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui Jibril kepada nabi Muhammad saw., tidak boleh diubah dan diganti letaknya.
   b. Kedudukan dan Kehujjahan Al-Qur’an
            Mengenai kedudukan Al-Qur’an, para ulama sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber hukum Islam (Masdar Al-Masadir). Tidak ada sumber hukum dalam Islam yang melebihi dari Al-Qur’an. Semua sumber hukum kembali pada Al-Qur’an.
            Kehujjahan Al-Qur’an sangat kuat, tidak memerlukan bukti tentang kekuatannya sebagai dalil utama dalam Islam. Hal itu disebabkan Al-Qur’an mempunyai I’jaz, yakni suatu kekuatan yang dapat menunjukkan dan menetapkan kelemahan pihak lawan.
            Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah swt. Adalah kitidaksanggupan (kelemahan) orang-orang membuat tandingannya. Ketika nabi Muhammad saw. berada si Mekkah, beliau diperintah oleh Allah swt. Agar menjelaskan kepada orang banyak prihal Al-Qur’an. Salah satunya adalah pembuatan Al-Qur’an di luar batas kemampuan manusia. Allah swt. Berfirman dalam surah Al-Isra : 88
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
            “katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dangan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.”  (QS. Al-Isra : 88).
            Namun demikian, orang-orang kafir melancarkan tuduhan kepada nabi Muhammad saw. bahwa beliaulah yang membuat Al-Qur’an itu. Kemudian, Allah swt. Menentang mereka dalam surah Yunus : 38.
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
            “Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-buatnya? Katakanlah, “Buatlah sebuah surah yang semisal dengan surah (Al-Qur’an), dan ajaklah siapa saja di antara kamu orang yang mampu (membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Yunus : 38).
            Ketika ternyata mereka lemah, tidak sanggup membuat sebuah surah yang sama dengan Al-Qur’an, Allah swt. Memerintahkan untuk membuat tantangan lagi kepada mereka agar membuat sepuluh surah yang memadai seni dan gaya bahasanya semisal Al-Qur’an. Allah swt. Berfirman dalam surah Hud : 13
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
            “Bahkan mereka mengatakan, “Dia (Muhammad) telah membuat-buat Al-Qur’an itu. “Katakanlah (kalau demikian), datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya (Al-Qur’an) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja diantara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu oranag-orang yang benar.” (QS. Hud : 13)
            Selanjutnya, setelah nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah, Allah swt. Memerintahkan kembali untuk mengadakan tantangan kepada mereka dalam firman-Nya berikut.
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
             “Dan jika kamu meragukan (Al-Qur’an) yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Al-Baqarah : 23).
Sekalipun orang-orang kafir telah berusaha dengan sungguh-sungguh membuat surah-surah untuk menandingi Al-Qur’an namun sekali-kali hasilnya tidak memadai sedikit pun. Akhirnya, mereka harus mengakui akan kelemahan mereka dan mengakui bahwa Al-Qur’an adalah diluar kemampuan manusia. Inilah sebagai bukti bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah swt.
            Al-Qur’an memuat beberapa ketentuan dan unsure-unsur yang mengatur kehidupan manusia, yaitu akidah, syariat (ibadah dan muammalah), akhlak, kisah-kisah lampau, berita-berita yang akan datang dan yang lainnya. Al-Qur’an tidak hanya memiliki satu nama, melainkan banyak nama, diantaranya adalah.
·         Al-Furqan artinya kitab yang membedakan mana yang benar dan mana yang salah, antara yang baik dan yang buruk, danseterusnya.
·         Al-Haq artinya kitab kebenaran Ilahi yang mutlak sempurna.
·         Al-Hikmah artinya kitab kebijaksanaan
·         Al-Huda artinya kitap petunjuk hidup
·         As-Syifa artinya kitab sebagai penyembuh dan penyegar rohani
·         Az-Zikr artinya kitab pengingat

2.      As-Sunnah
a.      Pengertian As-Sunnah
Arti sunnah dari segi bahasa adalah jalan yang biasa dilaui, perbuatan yang senantiasa dilakukan, adat kebiasaan, atau suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempersalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk.
Sedangkan sunnah menurut istilah, antara lain dikemukakan para ahli hadis dan ahli ushul fiqih sebagai berikut
·         Menurut para ahli hadis, As-Sunnah adalah:
Perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, atau keadaan Nabi Muhammad saw.
·         Menurut ahli ushul fiqih, As-Sunnah adalah:
“perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, atau ketetapan-ketetapan Nabi saw. yang berhubungan dengan pembentukan hukum.
·         Menurut ahli fiqih, As-Sunnah adalah sesuatu yang dituntut oleh pembuat syara’ untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak pasti. Dengan kata lain, As-Sunnah adalah suatu perbuatan jika dikerjakan mendapat pahala, jika ditinggalkan tidak berdosa.

b.      Kedudukan dan kehujjahan As-Sunnah
As-Sunnah sebagai dasar hukum Islam menempati kedudukan kedua setelah Al-Qur’an. Kedudukan kedua setelah Al-Qur’an, dikuatkan sebuah hadis (dialog antara Nabi Muhammad saw. dan Muaz bin Jabal) dan ayat Al-Qur’an yang menerangkan secara jelas bahwa sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Qur’an. Setelah itu, adalah As-Sunnah Nabi Muhammad saw. (Hadis).
Sumber-sumber hukum yang menetapkan bahwa As-Sunnah menjadi hujjah bagi kaum muslimin sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an diantaranya adalah:
·         Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an, banyak terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kaum muslimin agar menaati Rasulullah saw. dengan ungkapan yang berbeda-beda, sebagaimana firman Allah swt. Sebagai berikut.
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah (Muhammad), “taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir. (QS. Ali Imran : 32)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barang siapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah (QS. An-Nisa : 80)

Dari kedua ayat diatas Allah swt. Menjelaskan bahwa kita harus menaati Rasulullah saw., karena taat kepada Rasulullah saw. berarti sama dengan taat kepada Allah. Meskipun dengan ungkapan yang berbeda-beda, tetapi mafhumnya sama yaitu sebagai bukti bahwa apa yang disyariatkan oleh Rasulullah saw., juga merupakan syariat Allah swt. Yang wajib ditaati bagi seluruh kaum muslimin.  

·         Hadis
Rasulullah saw. menyuruh ummatnya agar berpegang kepada sunnah Rasulullah saw., sebagaimana diriwayatkan pada hadis berikut.

“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal, kalian tidak akan sesat, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnahku.”

Dari hadis tersebut, diperoleh simpulan bahwa kaum muslimin diperintah untuk berpegang kepada sunnah Rasulullah saw. karena As-Sunnah adalah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an


c.       Kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
As-Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Karena sunnah merupakan penjelas dari Al-Qur’an, maka yang dijelaskan berkedudukan lebih tinggi daripada yang menjelaskan. Namun demikian, kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an sekurang-kurangnya ada tiga hal seperti berikut ini.

1.      As-Sunnah sebagai penguat Al-Qur’an
Fungsi As-Sunnah sebagai penguat hukum peristiwa ditetapkan oleh dua buah sumber, yaitu Al-Qur’an sebagai sumber yang menetapkan hukum dan As-Sunnah sebagai sumber yang menguatkannya. Peristiwa tersebut dapat di pahami dalam masalah shalat, zakat, puasa, dan haji yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan diperkuat lagi dengan As-Sunnah.

2.      As-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an
As-Sunnah adalah penjelas (bayan) Al-Qur’an. Diakui bahwa sebagian umat Islam tidak mau menerima As-Sunnah, padahal darimana mereka mengetahui bahwa shalat Zuhur itu empat rakaat, maghrib tiga rakaat dan sebagainya kalau bukan dari As-Sunnah.

Maka jelaslah bahwa Sunnah itu berperan penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an, sehingga dapat menghilangkan kekeliruan dalam memahami Al-Qur’an.

Penjelas As-Sunnah terhadap Al-Qur’an dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu:
a.       Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya Shalat dalam Al-Qur’an tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan Shalat lainya. Maka hal itu dijelaskan oleh sunnah sebagaimana sabda Rasulullah saw.
صلوا كمار ايتمونى اصلى
“Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat aku Shalat”.

b.      membatasi kemutlakanya, Al-Qur’an membolehka kepada orang yang meninggal berwasiat atas harta peninggalanya berapa saja dengan tidak dibatasi maksimalnya, seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa : 12.
Firman Allah swt. Tersebut bersifat mutlak. Oleh karena itu, Rasulullah saw. memberikan batasan maksimal wasiat yang dijelaskan dalam hadisnya.
  
c.       Mentakhsiskan keumumannya, Allah swt. Berfirman secara umum tentang keharaman makan bangkai (binatang yang tidak disembelih dengan nama Allah) dan darah dalam surah Al-Maidah : 3. Atas firman Allah tersebut, Rasulullah saw. mengkhususkannya dengan memberikan pengecualian pada bangkai ikan laut, belalang, hati, dan limpa di dalam hadisnya.

3.       As-Sunnah sebagai pembuat syariat atau hukum
Sunnah tidak diragukan lagi merupakan syariat dari yang tidak ada dalam Al-Qur’an, misalkan diwajibkannya zakat fitrah, disunnahkan Aqiqah, dan lain-lain.

3.      Ijma’
a.      Pengertian Ijma’

Kata Ijma’ secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau “kesepakatan tentang suatu masalah”. Menurut istilah Ushul Fiqih, seperti dikemukakan ‘Abdul Karim Zaidan, adalah “kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum Syara’ pada satu masa setelah Rasulullah saw. wafat.”

Menurut jumur ulama, kata Muhammad Abu Zahrah, ijma’ sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid, dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ baru dianggap terjadi bilamana merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.
Ijma’ menurut bahasa, artinya : sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah, ialah :
اتّفاق مجتهدى امّة محمّد صلى الله عليه وسلّم بعد وفاته فى عصر من الاعصار على امر من الامور.
            Artinya :
“Kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat, pada masa tertentu tentang masalah tertentu”.
Dari pengertian diatas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatan orang-orang semasa dengan nabi tidaklah disebut sebagai ijma’.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat sebagai ijma’, namun pendapat jumhur, ijma’ itu disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama) yang ada pada masa itu. Tidak sah ijma’ jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma’ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak boleh didasarkan kepada yang lainnya.
Contoh mengenai ijma’ antara lain ialah menjadikan as-Sunnah sebagai salah satu sumber islam. Semua mujtahid dan bahkan semua umat islam sepakat (ijma’) menetapkan as-Sunnah sebagai salah satu sumber hukum islam.
Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu :
1.            Dengan ucapan (Qouli),
2.            dengan perbuatan (Fi’li),
3.            dengan diam (sukut)

b.      Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma' dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat dzhanny. Golongan syi'ah memandang bahwa ijma' ini sebagai hujjah yang harus diamalkan. Sedang ulama-ulama Hanafi dapat menerima ijma' sebagai dasar hukum, baik ijma' qath'iy maupun dzhanny. Sedangkan ulama-ulama Syafi'iyah hanya memegangi ijma' qath'iy dalam menetapkan hukum.
Dalil penetapan ijma' sebagai sumber hukum islam ini antara lain adalah :
Firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 59 :
يايهاالذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الأمر منكم ( النساء : 59)
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu".
Yang dimaksud "ulil amri" ialah orang-orang yang memerintah dan para ulama. Menurut hadits:
لاتجتمع أمّتى على الضّلالة
Artinya:
            "Ummatku tidak bersepakat atas kesesatan".

            Menurut sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri fid-dunya, yaitu penguasa, dan Ulil Amri fid-din, yaitu mujtahid. Sebagian ulama lain menafsirkannya dengan ulama.
Ijma' ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar'iy, yaitu setelah Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma' dapat dijadikan alternatif dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qu'an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
c.      Sebab-sebab Dilakukan Ijma'
Di antara sebab-sebab dilakukannya ijma' ialah :
a.       Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur'an dan as-Sunnah tidak diketemukan hukumnya.
b.      Karena nash baik yang berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah sudah tidak turun lagi atau telah berhenti.
c.       Karena pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah dikoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukum persoalan permasalahan yang timbul pada saat itu.
d.      Di antara para mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan.
d.      Macam-Macam Ijma'
1.      Ijma’ Sarih, adalah kesepakatan tegas dari para mujtahid dimana masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap kesimpulan itu.
2.      Ijma’ Sukuti, adalah bahwa sebagian ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
4.      Qiyas
a.      Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan, atau mempersamakan sesuatu dengan lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash.
Berbeda dengan ijma', qiyas bisa dilakukan oleh individu, sedang ijma' harus dilakukan bersama oleh para mujtahid.
b.      Kedudukan Qiyas sebagai sumber hukum Islam
Qiyas menurut para ulama adalah hukum syar'iyah yang keempat sesudah Al-Qur'an, Hadits dan Ijma'. Mereka berpendapat demikian dengan alasan, Firman Allah :
فاعتبروا يااولى الابصار. ( الحسر : 2)
Artinya:
"Hendaklah kamu mengambil i'tibar (ibarat = pelajaran) hai orang-orang yang berfikiran". (S. Al-Hasyr ayat 2)
Karena i'tibar artinya "qiyasusysyai-i bisysyar-i : membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain".
c.       Rukun Qiyas
Rukun qiyas ada empat yaitu:
1. Ashal (pangkal) yang menjadi ukuran.
2. Far'un (cabang) yang diukur
3. 'Illat, yaitu sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang.
4. Hukum, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nas.
d.      Macam-Macam Qiyas
Dari segi perbandingan antara illat yang terdapat pada ashal (pokok tempat menqiyaskan) dan yang terdapat pada cabang qiyas dibagi menjadi tiga macam.
1.      Qiyas Awlawi, yaitu bahwa illat yang terdapat pada furu’ (cabang) lebih utama dari pada illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya mengqiyaskan hukum haram memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “Ah” yang terdapat dalam surah Al-Isra : 23.
2.      Qiyas Musawi, yaitu qiyas dimana illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama bobotnya dengan bobot illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, illat hukum haram membakar harta anak yatim yang dalam hal ini adalah cabang sama bobot illat haramnya dengan tindakan memakan harta anak yatim yang diharamkan dalam surah An-Nisa : 10.
3.      Qiyas Al-Adna, yaitu qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan illat yang terdapat dalam ashal (pokok). Misalnya, sifat memabukkan yang terdapat dalam minuman keras bir umpamanya lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada  minunman keras khamar yang diharamkan dalam surah Al-Maidah : 90.
e.       Sebab-sebab Dilakukan Qiyas
a.    Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur'an dan as-Sunnah tidak diketemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma'.
b.   Karena nash, baik berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah telah berakhir dan tidak turun lagi.
c.    Karena adanya persamaan 'illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.

B.     Dalil Hukum Islam Yang Tidak Disepakati
1.      Istihsan
a.      Pengertian Istihsan
Dari segi bahasa Istihsan berarti menganggap sesuatu baik, yang diambil dari kata Al-Husnu (Baik). Sedangkan Istihsan mempunyai arti menurut istilah Ushul Fiqih seperti dikemukakan oleh Wahhab Az-Zuhaili, yaitu: “Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.”
Sedang menurut istilah Ahli Ushul yang dimaksud istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna'y (pengecualian), karena ada dalil syara' yang menghendaki perpindahan itu.

Istishan hanya digunakan oleh Imam Hanafi, sedangkan ulama yang lain tidak menggunakannya, seperti Imam Malik dan Imam Hambali, pengertian Istihsan menurut seorang ulama Hanafiah adalah “Beralih pada penetapan hukum suatu masalah dan meninggalkan yang lainnya karena adanya dalil syara’ yang lebih khusus”.

b.      Macam-Macam Istihsan
1. Istihsan bin-Nas. yaitu hukum pengecualian berdasarkan Nas (Al-Qur’an atau Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku baik kasus-kasus serupa. Contohnya, menurut kaidah umum makan dalam keadaan lupa di siang hari Ramadhan merusak puasa seseorang karena telah rusak rukun dasarnya yaitu Imsak (menahan diri dari yang membatalkan puasa) di siang harinya. Namun, dengan hadis Rasulullah menegaskan bahwa makan dalam keadaan lupa disiang hari Ramadhan tidak membatalkan puasa.
2.  Istihsan berlandaskan Ijma’. Misalnya pesanan untuk membuat lemari. Menurut kaidah umum praktik seperti itu tidak dibolehkan, karena pada waktu mengadakan akad pesanan, barang yang akan dijualbelikan tersebut belum ada. Memperjualbelikan benda yang belum ada waktu melakukan akad dilarang dalam hadis Rasulullah. Namun hal itu dibolehkan sebagai hukum pengecualian, karena tidak seorang pun ulama yang membantah keberlakuannya dalam masyarakat sehingga dianggap sudah disepakati (Ijma’).
3. Istihsan yang berlandaskan Urf (adat). Misalnya, boleh mewakafkan benda bergerak seperti buku-buku dan perkakas alat memasak. Menurut ketentuan umum perwakafan. Seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, wakaf hanya dibolehkan pada harta benda yang bersifat kekal dan berupa benda tidak bergerak seperti tanah. Dasar kebolehan mewakafkan benda bergerak itu hanya adat kebiasaan diberbagai negeri yang membolehkan praktik wakaf tersebut.
c. Kehujjahan Istihsan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi Isthisan”.

2.      Istishab
f.       Pengertian Istishab
Kata Istishab secara etimologi berarti “meminta ikut serta secara terus menerus”. Sedangkan secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.
Defenisi lain yang sama dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim Al-Jawziyah, tokoh Ushul Fiqih Hambali, yaitu : “menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya.” Misalnya, seseorang yang sudah memastikan bahwa ia telah berwudhu, dianggap tetap masih ada wudhu’nya selama belum terjadi hal membuktikan batal wudhu’nya. Dalam hal ini, adanya keraguan batalnya wudhu tanpa bukti yang nyata, tidak bisa mengubah kedudukan hukum wudhu tersebut.
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang, selama tidak terdapat hukum yang mengubahnya.
g.      Macam-Macam Istishab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1.          Istishab Al-Ibahah Al-Ashliyah, adalah hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram. Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas.
2.      Istishab al-Bara’ah al-Ashliyah, adalah bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu.
3.      Istishab Al-Hukm, adalah Istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang sudah jelas berhtang, akan selalu dianggap berutang sampai ada pihak yang berpiutang membebaskannya dari utang itu.
4. Istishab Al-Wasf, adalah Istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
h.      Kehujjahan Istishab
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.
Jumhur ulama mengatakan bahwa istishab dapat dijadikan pegangan sebagai hujjah, karena dalam sejarah kehidupan manusia sudah terbiasa dan menjadi kekuatan hukum bila berpegang kepada hukum yang berlaku sebelumnya.
3.      Maslahah Mursalah
a.      Pengertian Maslahah Mursalah
Mashalih bentuk jama' dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemudharatan atas mereka.
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua arti yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي).
Seperti dijelaskan diatas bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at. Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak غير مقيد yaitu maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan.
b.      Macam-Macam Maslahah Mursalah
                                                              i.      Al-Maslahah Al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya.
                                                            ii.      Al-Maslahah Al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan ketentuan syariat.
                                                          iii.      Al-Maslahah Al-Mursalah, yaitu pembahasan yang dimaksud dalam pembahasan ini, dan maslahah ini terdapat dalam maslahah muammalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dan tidak pula ada bandingannya.
c.       Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
1.      Maslahat itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
2.      Maslahaat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
3.      Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nash atau ijma'.

4.      ‘Urf
a.      Pengertian ‘Urf
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun meninggalkan. Menurut ahli syara' urf bermakna adat, atau antara urf dan adat itu tidak ada perbedaanya. Diantara contoh urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighat. Contah urf Qouly ialah orang telah mengetahui bahwa kata ar-rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan.
b.      Macam-Macam ‘Urf
Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a.         Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
b.        Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
ii.      Urf shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini diperbolehkan dan bahkan harus dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti mendatangkan maslahat bagi manusia.
iii.      Urf Fasid, yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan syari'at, atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini hukumnya haram, sebab bertentangan dengan ajaran agama.
Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a.       Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b.      Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
c.       Syarat-Syarat ‘Urf
a.       Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
b.      Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan kesulitan atau kesempitan.
c.       Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
d. Urf itu harus termasuk Urf yang shahih, dalam artian tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasul

i.        Kehujjahan ‘Urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nas.


BAB III

PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup umat Islam yang isinya sangat lengkap mencakup seluruh kehidupan manusia, meski tidak semua diterangkan secara rinci namun dapat kita pelajari dengan hadis-hadis Nabi.
Salah satunya adalah kandungan Al-Qur’an tentang Akidah dan Ibadah. Aqidah Islam adalah tauhid, artinya kepercayaan terhadap keesaan Allah swt. Oleh karena itu, Islam disebut juga agama tauhid. Dan Ibadah adalah bentuk pengabdian seorang hamba kepada sang pencipta yaitu Allah Swt. Sebagai rasa terima kasih atas segala nikmat yang telah diterimannya.
Al-Qur’an bukan hanya firman Allah swt. Yang harus dibaca namun juga harus difahami agar kita mampu untuk mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki, untuk kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan kedepannya.






DAFTAR PUSTAKA

Matsna, Mohammad, Prof. Dr., 2008. Al-Qur’an hadis, Semarang: Toha Putra.
Anwar, Rosihon. 2012. Ulumul Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia
Pengawarang, mochtar jaim. 2001. Kompedium ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum. Padang: CV. Hasanah
Departemen Agama RI. 1972. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Penerbit Syamil Qur’an
http// : Habibullahurl.com

http// : Organisasi.com

Ilmuwan Muslim Klasik

Ilmuwan Muslim Klasik Oleh: kelompok 8 (Muhammad Qudrat S. Ahmad Murdani. Nur Habibah. Sumondang Marito H. Jainuddin Dai) A.     Im...